About me

Foto saya
mahasiswa Universitas Gunadarma
Feeds RSS
Feeds RSS

Jumat, 27 Mei 2011

modernisasi pertanian


Masyarakat Samin di Tengah Arus Modernisasi Pertanian
Ajaran Samin (Saminisme) disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914). Ajaran
saminisme adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan
terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia.
Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan
kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.
Masyarakat Samin tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah.
Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa
Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya, mulai dari pantai utara
Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan, atau di
sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang. Menurut data
yang lain, orang Samin tinggal menyebar di daerah Bojonegoro, Tuban, Blora, Rembang,
Grobogan, Pati, dan Kudus. Mereka berdomisili tidak menggerombol, melainkan terpencar-
pencar, misalnya, tiap desa terdapat 5-6 keluarga, tetapi solidaritas sosialnya menyatu. Dua
tempat penting dalam keberadaaan masyarakat Samin sekarang adalah Desa Klopodhuwur di
Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro yang memiliki jumlah terbanyak
pengikut Samin.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan saminisme, yaitu : gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok, dan gerakan berdiam diri (dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci).
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan
agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama.
Yang terpenting adalah tabiat dalam hidupnya.
Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati dan jangan suka
mengambil milik orang.
Bersikap sabar dan jangan sombong.
Modernisasi Pertanian

        Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif. Mereka memanfaatkanalam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini
sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan, dan apa
adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada
mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam
pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja
yaitu penghujan dan kemarau. Pandangannya terhadap ekologi dan ekosistem tersebut dapat
dijumpai pada ucapan mereka, yaitu :
banyu podo ngombe, lemah podo duwe, godong podo
gawe (air sama-sama diminum, tanah sama-sama punya, daun sama-sama dimanfaatkan).
Ajaran inti masyarakat Samin adalah apa yang disebut mereka dengan agama Adam,
yaitu suatu agama yang terbentuk secara alamiah yang menekankan ajaran pada pemujaan
tertinggi kepada bumi dan penilaian tertinggi kepada peran para petani kepada masyarakat.
Dusun Jepang dikelilingi oleh hutan yang menjadikannya agak terisolasi dari daerah
sekitarnya. Letak dusun yang berada di kawasan hutan menjadikan dusun ini sulit untuk
dijangkau, terlebih lagi sarana angkutan umum tidak tersedia. Keadaan ini agak terbantu dengan
telah diaspalnya jalan yang menghubungkan Dusun Jepang dengan ibu kota kecamatan yang
berjarak sekitar 5 kilometer. Walaupun sarana angkutan umum tidak tersedia, jalan yang telah
beraspal sangat membantu mobilitas penduduk Dusun Jepang, terlebih saat ini banyak di antara
penduduk yang telah memiliki motor. Untuk mencapai Dusun Jepang dapat dikatakan sangat
mudah, bahkan bagi mereka yang sama sekali belum pernah berkunjung ke daerah ini. Letak
Desa Margomulyo berada di tepi jalan kabupaten yang menghubungkan Kabupaten Bojonegoro
dan Kabupaten Ngawi. Jalan inilah yang dilalui oleh angkutan umum seperti colt dan bus yang
menghubungkan Ngawi dan Bojonegoro.
Desa Margomulyo mempunyai luas wilayah sebesar 1.309.169 hektar yang terbagi
menjadi delapan dusun. Sebagian besar wilayahnya merupakan areal hutan yang dikelola oleh
Perhutani. Keseluruhan luas areal hutan mencapai 54,70 persen, sedangkan sisanya merupakan
lahan pertanian produktif serta daerah pemukiman. Areal pertanian produktif terdiri atas lahan
tegalan sebesar 23,60 persen, lahan sawah sebesar 13,20 persen, dan lahan perkebunan sebesar
1,15 persen.
Areal hutan yang dikelola oleh Perhutani menyebabkan akses penduduk sangat terbatas
untuk memanfaatkan hutan. Penduduk sebatas mendapatkan ranting-ranting jati yang digunakan
untuk kayu bakar serta daun jati sebagai pembungkus. Penduduk Dusun Jepang hampir
seluruhnya menggantungkan hidup dari pertanian. Kondisi tanah yang kurang subur serta luas
kepemilikan yang sempit menjadikan kemiskinan masih menjadi permasalahan yang
membelenggu sebagian besar penduduknya.
Penduduk Dusun Jepang berjumlah 736 jiwa yang terdiri dari 202 kepala keluarga dan
hampir keseluruhan menganut paham Saminisme, makanya sering disebut masyarakat Samin.
Masyarakatnya dipimpin oleh generasi keempat dari Samin Surosentiko (pencetus ajaran Samin)
yang bernama Hardjo Kardi. Sebagian besar penduduk tidak pernah mengenyam pendidikan
terutama bagi mereka yang telah berusia diatas 40 tahun. Jumlah penduduk yang tidak
mengenyam pendidikan sebesar 42,9 persen, sedangkan penduduk yang telah berhasil
menyelesaikan pendidikan hingga tingkat sekolah dasar mencapai 28,5 persen. Hanya sebagian
kecil penduduk yang telah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP dan SMA.
Adapun kasus yang terjadi Dusun Jepang ini adalah tidak terbendungnya arus
modernisasi pertanian yang masuk ke dalam lingkungan dan struktur masyarakat Samin. Kasus
ini bermula dari inisiatif dan peran pemerintah (terutama pada orde baru) yang mengedepankan
kebijakan peningkatan produksi pertanian menggunakan teknologi serta berbagai pupuk dan
pestisida kimia. Pembentukan kelompok tani juga gencar dilakukan dalam rangka menaungi
seluruh masyarakat dan para petani Samin untuk meningkatkan produksi pertanian terutama
padi.
Dilihat dari kondisi topografinya, desa ini terletak di daerah lahan kering, berbukit-bukit,
sehingga produktivitas pertaniannya juga rendah. Tipologi ekologis dusun ini cukup unik. Di
sekelilingnya terdapat oleh hutan (sekitar 54,7 persen) dari luas lahan dusun. Sisanya adalah
lahan pertanian dan pemukiman. Namun yang sungguh aneh adalah mengapa keseluruhan hutan
yang berada di sekelilingi dusun ini dikuasai oleh pemerintah (dalam hal ini Perhutani), padahal
sudah diketahui bahwa dusun ini terletak di daerah yang kering. Apakah masyarakat di sini tidak
berhak untuk mencukupi kebutuhannya yang dapat diambil dari hasil hutan? Mungkin ini juga
yang menjadi alasan pemerintah untuk memasukkan program modernisasinya ke dalam struktur
masyarakat Samin Dusun Jepang ini dalam rangka memuaskan kepentingannya sendiri. Dalam
artian pemerintah mendapatkan dua keuntungan sekaligus yaitu melindungi kepentingannya di
sektor kehutanan dan ikut mensukseskan program modernisasi pertaniannya. Penggunaan pupuk
buatan dan penggunaan teknologi modern yang merusak lingkungan digenjot demi menaikkan
produksi pertanian. Padahal masyarakat Samin memiliki prinsip cinta akan lingkungannya yang
tercermin dalam ajaran Saminismenya, yaitu :
banyu podo ngombe, lemah podo duwe, godong
podo gawe (air sama-sama diminum, tanah sama-sama punya, daun sama-sama dimanfaatkan).
Modernisasi ini juga yang jelas-jelas melunturkan struktur atau pranata sosial masyarakat Samin
di Dusun Jepang. Perspektif desa dilihat dari aspek budaya adalah desa menjadi basis budayanya
sendiri. Dalam hal ini ada Dusun Jepang dengan
budaya masyarakat Samin yang mencintai
lingkungan juga luntur akibat modernisasi ini.
Kelompok tani juga gencar dibentuk di dusun ini untuk menaungi masyarakat dan para
petani dalam menaikkan produksi pertanian. Namun ada hal yang menarik terjadi dalam
masyarakat Samin di dusun ini. Kelembagaan tradisional seperti
sambatan ternyata masih
bertahan dan terpelihara di tengah arus kelembagaan modern seperti kelompok tani. Masyarakat
Samin tidak mengenal konsep majikan dan buruh. Seluruhnya dikerjakan bersama-sama demi.



0 komentar:

Posting Komentar